Rabu, 11 Mei 2011

Pintu nasib


Bulan-bulan terakhir memang bulan yang menyenangkan. Bulan ketika saya bisa pulang dan ketemu istri, meski hanya sekali sebulan. Bahkan Februari dan Maret lalu sampe 2x sebulan. Perjalanan yang saya tempuh ga jauh si, sekitar 2000an km. 2 jam terbang melintasi pantai timur sumatera, 5 jam nggelandang di bandara ato stasiun, 8 jam kereta api. Itulah jalur Medan -Cilacap versi irit waktu.
Tepat waktu karena bisa pake flight sore (after hour pokoknya) , nyampe jakarta malem (paling telat jam 2300) , naik kereta pagi (Purwojoya, satusatunya kereta langsung ke Cilacap, at 0600).

Which part of my journey that sparks people pittyness?
Well most of em wud say 'spending de night over at Gambir'.
Ga selalu si nggelandang, tapi kalo pulang tanpa rencana dan kawan yang biasanya menawarkan tempat bermalam sedang tidak ada, Gambir jadi tempat yang aman buat bermalam.

Purwojaya terdiri dari rangkaian bisnis dan eksekutif. Penumpang gerbong eksekutif tau, bahwa pedagang asongan dilarang masuk ke gerbong eksekutif. Tapi apakah mereka tau kalau mereka dilarang membiarkan pedagang asongan memasuki gerbang eksekutif? Menurut saya tidak. Saya tidak tau. Dan menurut saya juga tidak dilarang. Itu sebabnya saya membukakan pintu buat mereka yang menggedor pintu sebelah toilet yang bertuliskan 'Hanya boleh dipakai apabila kereta sedang berjalan'.

Pintu di sebelah toilet itu. Pintu tempat mereka mengadu nasib. Tak lebih dari 80 cm x 200 cm. Tempat mereka berteriak 'Popmieee.. Kopiii.. Popmieeee.. Kopiiiii..' dan berharap ada perutperut kosong yang mendengarnya. Bayangin aja, cuma suara! Tak kurangkurang tenaga yang mereka keluarkan untuk menggetarkan pita suara. Nampaknya kurang kuat suara kau bang, tak ada yang suka Popmie tau kopimu.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar