Selasa, 31 Mei 2011

terbakar di neraka

Jumat yang lalu, seperti Jumat-Jumat yang lain, saya menunaikan kewajiban sebagai muslim untuk sholat Jumat. Mesjid yang terletak tepat di depan kos saya itu tidak terlalu besar, namun bisa menampung sekitar 200an jamaah. Ruangan utamanya hanya sekitar 20 x 20 meter. Dinding bagian dalamnya dihiasi marmer warna hitam yang membuat kesan mewah. Seperti masjid-masjid kebanyakan, ruangan utama ini dipisahkan oleh pintu-pintu dan jendela-jendela lebar dari kaca dari teras masjid.
Siang hari di Medan sangatlah terik. Entah kenapa, setiap Jumat matahari enggan berkedip. Enggan mengurangi sorotnya barang sekejap yang membuat para jamaah yang di teras bercucuran keringat. Jamaah pada umumnya adalah pegawai atau karyawan di sekitar lingkungan saya. Mayoritas penduduk di lingkungan saya memang non muslim. Bahkan tak jauh dari masjid ini, sekitar 50 meter saja, berdiri sebuah Gereja.
Beruntunglah yang bisa mendapatkan tempat di ruangan utama. Ruangan ini sejak 4 bulan yang lalu telah dilengkapi 4 buah ase (baca: AC). Sangat nyaman berada di dalam. Mungkin ase-ase itu bukan berisi freon, tapi mungkin semacam obat tidur yang kuat. Saya perhatikan makin banyak saja orang tertidur sejak kehadiran mereka.
Siang itu saya tertidur di kos, sehingga telat ke masjid. Hukumannya, ya berada di teras yang panas. Namun saya memilih untuk duduk sedekat mungkin dengan pintu masuk ruang utama, agar ketika sholat akan dimulai dan shaf mulai dirapatkan, saya masih bisa masuk ke urang utama. Baru membayangkan ase ruang utama saja sudah terasa nikmat siang itu.
Dan tak salah dugaan saya, sesaat ketika iqamah berkumandang saya merangsek ke depan. Berada di shaf paling belakang di ruang utamapun tak apa, pikir saya. Sholatpun dimulai. Ketika sedang mencoba memusatkan pikiran, saya gagal. Diulang lagi, ditambah memejamkan mata, saya gagal lagi. Coba lagi plus tahan nafas, gagal lagi. Sebabnya tak lain karena segerombolan anak-anak yang tak hentinya bersorak. Entah apapun yang disoraki. Gelak tawa terus mengalir dari mulut ke mulut. Berhenti sebentar, dan kemudian meledak lagi tawa mereka. Geram kali rasa hati. Tak mengapa, mereka belum wajib, sayalah yang sudah wajib. Ya Allah, ampuni sholatku kali ini. Sampai salam masih tak bisa menghadapkan hati padaMu.
Beberapa saat setelah salam dan menoleh ke kiri, nampaklah makhluk-makhluk kecil yang dikirim untuk menguji kekhusyukan saya siang ini.

'Bising kali kelen!!' kalimat yang meluncur dari seorang jamaah yang lewat.
'Setan!' kutukan jamaah lain yang menyapa telinga-telinga kecil mereka.
'Tak usah lagi sholat Jumat ko!' ancam jamaah lain.
Bertubi-tubi serangan verbal menghampiri anak-anak yang ternyata merusak ibadah beberapa orang. Sebenarnya saya sudah tidak tega, namun saya tak kalah geram.
Dengan melotot, saya membisikkan 'Pernah kelen denger orang-orang yang akan dibakar di neraka?'
'Iya..' sahut makhluk kecil yang terkecil.
'Kalianlah yang akan dibakar di nerka nanti' kata saya sembari berharap menemukan kalimat yang tepat untuk menghukum anak-anak macam mereka.
Beberapa nampak ketakutan, yang lain mulai saling menyalahkan.
'Udah, diaaam!! Nanti lagi kalo sholat berjamaah jangan bersebelahan kelen. Pisah aja'.
Bersama mereka menganggukkan kepala sebagai permohonan maaf.

Sore itu, saya pulang kantor agak malam. Ketika melintas di masjid, terdengar Adzan Maghrib. Sayapun berbelok ke kiri, memarkir motor, dan mengamankan sepatu dengan memisahkan kedua sepatu sejarak 5 meteran. Mengambil air wudlu dan bergegas masuk masjid.
Saya takjub dengan sebuah pemandangan. 4 anak yang tadi siang saya takut-takuti dengan api neraka telah belajar dari kata-kata saya. Mereka tidak lagi bersebelahan. Mereka berdiri rapi dan berjarak satu sama lain. Satu di sudut masjid sebelah kanan, satu di sudut masjid sebelah kiri dan 2 lagi masing-masing berada di shaf paling belakang! Sekitar pada baris ke 12,padahal jamaah sore itu satu shafpun tidak penuh.

Alamak.. dosa apa yang saya buat bah?!

Rabu, 11 Mei 2011

Pintu nasib


Bulan-bulan terakhir memang bulan yang menyenangkan. Bulan ketika saya bisa pulang dan ketemu istri, meski hanya sekali sebulan. Bahkan Februari dan Maret lalu sampe 2x sebulan. Perjalanan yang saya tempuh ga jauh si, sekitar 2000an km. 2 jam terbang melintasi pantai timur sumatera, 5 jam nggelandang di bandara ato stasiun, 8 jam kereta api. Itulah jalur Medan -Cilacap versi irit waktu.
Tepat waktu karena bisa pake flight sore (after hour pokoknya) , nyampe jakarta malem (paling telat jam 2300) , naik kereta pagi (Purwojoya, satusatunya kereta langsung ke Cilacap, at 0600).

Which part of my journey that sparks people pittyness?
Well most of em wud say 'spending de night over at Gambir'.
Ga selalu si nggelandang, tapi kalo pulang tanpa rencana dan kawan yang biasanya menawarkan tempat bermalam sedang tidak ada, Gambir jadi tempat yang aman buat bermalam.

Purwojaya terdiri dari rangkaian bisnis dan eksekutif. Penumpang gerbong eksekutif tau, bahwa pedagang asongan dilarang masuk ke gerbong eksekutif. Tapi apakah mereka tau kalau mereka dilarang membiarkan pedagang asongan memasuki gerbang eksekutif? Menurut saya tidak. Saya tidak tau. Dan menurut saya juga tidak dilarang. Itu sebabnya saya membukakan pintu buat mereka yang menggedor pintu sebelah toilet yang bertuliskan 'Hanya boleh dipakai apabila kereta sedang berjalan'.

Pintu di sebelah toilet itu. Pintu tempat mereka mengadu nasib. Tak lebih dari 80 cm x 200 cm. Tempat mereka berteriak 'Popmieee.. Kopiii.. Popmieeee.. Kopiiiii..' dan berharap ada perutperut kosong yang mendengarnya. Bayangin aja, cuma suara! Tak kurangkurang tenaga yang mereka keluarkan untuk menggetarkan pita suara. Nampaknya kurang kuat suara kau bang, tak ada yang suka Popmie tau kopimu.