Kamis, 30 Juni 2011

when goodwill turned ugly!



'Tadi miskol y?'



'Iya. Katanya mo nganter ke bandara.'



'Hari ini to!?!?'



'Iya. Yaudah, gapapa. Udah mo boarding juga.'





Antrian hari itu tak lebih pendek dari antrian maskapai
lain. Setelah lebih dari setahun, saya kembali memilih Air Asia untuk
penerbangan Medan - Surabaya. Sepertinya banyak sekali yang berubah dari
maskapai ini. Entah apa saja, namun rasanya banyak sekali. Atau mungkin saya
sudah lupa karena tidak pernah lagi terbang dengan yang ini. Sebenarnya tujuan
akhir saya adalah Jogja, tapi karena kurangnya persiapan menghadapi liburan
terpaksa terbang ke Surabaya baru entah bagaimana caranya menuju Jogja. Harga tiket
mahal sekali, jalur Medan - Surabaya jadi jalur termurah dari Medan menuju ke
salah satu kota di Jawa. Yang lain.... unthinkable.





Kebetulan dapat kursi idaman. Emergency exit yang deret
kedua. Luas untuk selonjoran. Tidak seperti yang deret pertama. Bisa selonjoran
juga tapi tanpa reclining seat karena baris di belakangnya adalah jalan
evakuasi. Sayangnya tidak dekat jendela, artinya melewatkan kesempatan dapat
obyek foto di langit. Meski sudah puluhan kali duduk di samping jendela dengan
hasilfoto yang mengecewakan, saya masih menyimpan harapan akan ada awan atau
apa yang pengen difoto.





Yang duduk di aisle atau sebelah kiri saya tampak seperti
seorang eksekutif yang tak lagi muda. Rambutnya klimis dengan minyak rambut,
mungkin yang penghabisan karena tak semuanya basah. Jas hijau tua tebal yang
mengingatkan saya pada coat milik tokoh kartun hasil karya Herge. Sebuah
telepon genggam merk terkenal yang sedang meracuni kawula muda lekat di
jari-jari tangannya. Dia pencet sana sini dengan sibuknya. Sebuah aplikasi
pemutar musik nampak di layar. Semakin saya perhatikan semakin asyik dengan
gadgetnya. 'Penggemar Lady Gaga', batin saya ketika muncul tulisan 'Poker face'
di layar yang tak lebih dari 4 inci itu. Saking kuatnya suara pemutar musik,
terdengar jelas sampai ke seberang telinga saya. 'Benar-benar fans berat!'





Tak berapa lama, datang seorang flight attendant laki-laki
yang bersiap melakukan peragaan keselamatan. 'Due to civil aviation ... ' Si
Abangpun mulai memeragakan peralatan keselamatan. Tak kalah cekatan dengan
flight attendant lain yang umumnya perempuan. Si eksekutif yang tak lagi muda
(SEYTLM) nampak larut dalam musik yang berdentum. Kali ini memutar 'Telephone'
kalau saya tak salah dengar. Mungkin sudah terlalu sering SEYTLM mendengarkan
atau melihat peragaan keselamatan, tak sedikitpun dia menaruh perhatian. Entah
karena flight attendantnya laki-laki atau ada alasan yang lain.





'Mohon perhatian bapak-bapak. Anda sekarang sedang duduk
dekat dengan jendela darurat.....



...... Ada pertanyaan?'





Tidak ada yang bertanya. Segera flight attendant beranjak
dari tempat dia berdiri hampir 15 menit. Namun, segera SEYTLM menghalangi
langkah flight attendant dengan tangannya. Sontak flight attendant terkejut.
SEYTLM mencoba meraih telinga flight attendant. Nampaknya SEYTLM ingin
membisikkan sesuatu. Tanpa menyadari earphone sedang menyumpal telinganya dan
memutar lagunya keras-keras, SEYTLM dengan lantang 'berbisik' .. 'Mas,
resletingnya melorot!'.





Semua orang di sekeliling kami mencoba menyembunyikan ekspresi.



Ada yang tersenyum dengan kalimat 'Sudahlah, tidak apa-apa.'



Seorang ibu yang menutup wajahnya.



Saya sendiri baru tau ketika SEYTLM 'membisikkan' kalimat
yang berhasil membuat flight attendant malu setengah mati. Namun tak sempat
melirik resletingnya, saya menutup mata dan berpikir. Bahkan niat baikpun bisa
jadi runyam.

Maybe its a slapstick Warkop DKI kinda joke, but its a real thing to me.