Kamis, 11 Juni 2009

mendung dan senyap

tak pernah terasa lagi hari demi hari, bagi hamba yang membayar hidup dengan peluhnya, mungkin juga keluhnya. jam tak lagi tertanda apalagi detikdetik yang membuntuti. hanya angin yang menyisir rambut, melesap ke kulit kepala yang memberi aba saatnya pulang dengan membawa dingin.
ladang itu, seperti tak hentihentinya menguras tenaga. terus dibajaki pun dicangkuli, hanya menguji seberapa sanggup dia harus melanjutkan murka Penguasa atas nafasnya.
hari ini, seperti minggu sebelumnya yang basah. hujan mengirim pesan untuk bersabar. hasil kerja keras akan dibayar. matahari sesekali memamerkan seringai yang biasanya menggempur punggungnya yang kian mengkilap bagai lantai kamar mandi dari batu kali.

dari kejauhan, macam mainan yang tertiup angin, tubuhnya bergerak naik turun. membungkuk, kembali tegak, membungkuk lagi, dan kembali tegak. cangkul diayunnya, sekuatkuatnya, seperti akan muncrat minyak yang akan membiayai makanannya beberapa purnama ke depan.

cakap orangorang, air tak lagi ada di sungai. menguap entah kemana. pohonpohon juga pergi. sudahbeberapa lama tak kembali. hujan telah membangun harapan untuk lahannya. mungkin matahari yang tak nampak sedang bekerja keras mencairkan mendung di atas sana. terserah, matahari datang atau tidak, ia masih harus hidup. meski dengan memakan tanah dari lahan itu. iya, tanah itu adalah bukti ia layak hidup.

sudah lama ingin digadainya. banyak nian yang mau. tp itu membuatnya berpikir, ada apa dengan lahan itu. tak sampai digadainya, hampir.

sudah beberapa tahun yang berlalu. lengannya masih kuat mengayun. kakinya bak pondasi jembatan layang. punggungnya lebih licin dari lantai kamar mandi yang tak terlewat di gosok.
matahari membuatnya terlihat seperti serpihan kaca di jalan. berkilau. dilumuri peluh yang pekat. kali ini, matahari kesayangannya membawa janji. akan hadir lebih sering. sedikit lebih sering. lebih sering lagi. lebih sering lagi.
sepekat peluh itu, mengering juga. letih tak berdaya, dibuangnya cangkul yang mulai terkikis oleh kerasnya tanah yang mulai merekah. layaknya roti yang kering kepanasan.

bulat tekadnya. dijual pula bukti keberadaanya di muka bumi. saat tubuhnya masih sempurna, galau menghadang pandangannya. dan ketidaksabaran menggerogoti hatinya.

ketika matahari pergi, hanya mendung dan senyap..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar